Sabtu, 26 Mei 2012


UU PEMILU Dalam Memperkuat Sistem Politik Indonesia

Perdebatan sengit dan panjang mengenai Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU PEMILU) akhirnya berhasil dituntaskan. Melalui alur pembahasan yang begitu alot, rapat paripurna DPR pada Kamis, 12 April 2012 lalu telah sampai pada titik akhir pengesahan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD menjadi Undang-Undang. Dengan demikian, maka pemilihan umum tahun 2014 mendatang secara resmi sudah mendapat payung hukum terkait dengan mekanisme pelaksanaannya.
Dalam UU Pemilu yang baru disahkan DPR disepakati empat poin krusial, yakni:
1. Sistem Pemilu proporsional terbuka;
2. Ambang parlemen 3,5 persen yang berlaku nasional;
3. Metode konversi suara kuota murni;
4. Alokasi kursi per daerah pemilihan untuk DPR 3-10 kursi, sementara untuk DPRD 3-12 kursi.
Dari empat poin krusial ini, hanya poin ambang parlemen yang berubah mencolok, dari 1 persen menjadi 3,5 persen. Tiga poin lainnya bisa dikatakan identik dengan aturan di UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu atau UU Pemilu sebelumnya.
Tak lama setelah disahkannya UU PEMILU ini banyak partai-partai gurem (kecil) mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, yang kebanyakan tak bersepakat perihal Parliamentary Threshold dan verifikasi partai oleh KPU. Kira-kira sebanyak 22 partai kecil berbondong-bondong mengajukan gugatan ke MK yang diwakili oleh Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihzra Mahendra. Argumentasi seputar gugatan ini menjelaskan bahwa banyak klausul dalam UU PEMILU ini yang bertolak belakang dan rancu. Setidaknya ada dua norma berbeda yang sengaja disatukan dalam salah satu paket UU tersebut. Salah satunya adalah terkait aturan ambang batas parlemen dan keikutsertaan partai politik (parpol) dalam pemilu yang tidak ada korelasinya.
Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu. Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu berbunyi “Partai politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya”. Selain itu, beberapa parpol nonparlemen juga menggugat Pasal 8 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 208 yang mengamanatkan PT (Parliamentary Threshold) berlaku secara nasional akan merugikan partai-partai nonparlemen yang tidak memiliki basis politik dan massa nasional.
****
Idealnya adalah DPR harus memikirkan bagaimana sistem politik di Indonesia lebih baik. Mendahulukan kepentingan masyarakat sehingga pembahasannya tidak hanya berhenti pada pasal-pasal yang tidak memiliki urgensi, seperti ambang batas parlementary threshold, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil) 3-10 , dan sistem pemilu proporsional terbuka. Apalagi ujung-ujungnya melalui mekanisme voting, mekanisme yang dinilai sering menghilangkan akal sehat akibat lebih mengutamakan tuntutan partai dari pada moralitas. Menurut, Robertus Robert semangat awal pembahasan RUU Pemilu adalah untuk mengatasi berbagai persoalan dalam sistem pemilu lama dan membuat sistem baru yang ideal. Salah satu targetnya, UU ini diharapkan bisa memperkuat sistem presidensial yang selama ini dihambat oleh sistem multipartai. Target lainnya adalah untuk mengatasi politik berbiaya tinggi, politik uang, pengelolaan dana kampanye dan transaksi politik. Tetapi malah DPR hanya memperdebatkan kepentingan partai-partai dan masih jauh dari usaha menata ulang desain institusi ketatanegaraan kita. (Kompas, Sabtu 14 April 2012).
Selanjutnya suatu sistem politik harus memiliki kapabilitas dalam menghadapai kenyataan dan tantangan terhadapnya. Pada era modern ini prestasi sistem politik di ukur dari kemampuannya melakukan penyelesaian dalam menghadapi masalah bangsa, dan tantangannya. Atau lebih berorientasi pada hal yang bersifat nyata (riil), seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial,politik,dan lainnya. Oleh karena itu system politik haruslah memiliki kemampuan untuk menyeleseikan persoalan yang menjerat bangsa dan pencapaian atau mewujudkan tujua negara seperti yang diamanatkan konstitusi. Semua ini menjadi sinkron ketika masuk dalam terminology system seperti yang Gabriel Almond maksudkan bahwa sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang ditemui dalam masyarakat merdeka, yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi. Kemudian juga Robert Dahl yang turut menyinggung perdebatan seputar system politik menyatakan bahwa system politik mencakup dua hal yaitu pola yang tetap dari hubungan antar manusia, kemudian melibatkan sesuatu yang luas tentang kekuasaan, aturan dan kewenangan. Dalam hal ini sistem politik Indonesia diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam negara Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan penyusunan skala prioritasnya.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif. Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan (ekologi) yang memiliki tantangan dan tekanan. Setiap menjelang pemilihan umum (Pemilu), setelah reformasi pada 1998 lalu, Indonesia seolah selalu dalam keadaan darurat: belum jelas sistem Politik seperti apakah yang akan digunakan. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya, Indonesia baru mempunyai UU Pemilu pada 3 Maret 2008. Untuk Pemilu 2014 nanti, Indonesia kemungkinan besar sudah mempunyai Undang-undangnya pada Kamis, 12 April 2012. Tipikal untuk selalu tidak jelas di saat-saat dekat dengan pemilu menimbulkan banyak spekulasi, apakah kita memang tidak memiliki system politik yang pasti dan permanen hingga membuat semua elemen bangsa dapat menatap dan mempersiapkannya ke masa depan? Inilah yang menjadi permasalahan ketika negara ini tidak memiliki sistem politik yang pasti dan permanen dan cenderung berubaha-ubah sesuai dengan konstelasi politik yang diselenggarakan lewat pemilu itu sendiri. Dan disini menjadi kecenderungan bangsa kita terutama yang dipancarkan oleh elit politik dan para pejabat untuk mengkonstruksi system politik (termasuk di dalamnya system pemilu), utamanya lewat pemenang pemilu sebelumnya. Kondisi ini sungguh sangat miris jika sampai terjadi pada saat ini. Dimana terdapat beberapa partai besar yang saling kongkalikong dengan partai besar yang lain untuk memantapkan atau mengamankan posisi kekuasaan yang telah susah payah didapatkan sebelumnya. Alih, untuk perbaikan kondisi bangsa lewat system politik yang tangguh dan stabil. Proyek UU PEMILU terbaru ini apakah memiliki muatan perubahan jika dinamika yang telah diperlihatkan begitu sarat dengan kepentingan pribadi dan golongan tertentu, bukan rakyat dan negara.End.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar