UU
PEMILU Dalam Memperkuat Sistem Politik Indonesia
Perdebatan sengit dan
panjang mengenai Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU PEMILU) akhirnya
berhasil dituntaskan. Melalui alur pembahasan yang begitu alot, rapat paripurna
DPR pada Kamis, 12 April 2012 lalu telah sampai pada titik akhir pengesahan RUU
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD menjadi Undang-Undang. Dengan demikian, maka pemilihan umum tahun
2014 mendatang secara resmi sudah mendapat payung hukum terkait dengan
mekanisme pelaksanaannya.
Dalam
UU Pemilu yang baru disahkan DPR disepakati empat poin krusial, yakni:
1. Sistem Pemilu proporsional terbuka;
2. Ambang parlemen 3,5 persen yang berlaku nasional;
3. Metode konversi suara kuota murni;
4. Alokasi kursi per daerah pemilihan untuk DPR 3-10 kursi, sementara untuk DPRD 3-12 kursi.
1. Sistem Pemilu proporsional terbuka;
2. Ambang parlemen 3,5 persen yang berlaku nasional;
3. Metode konversi suara kuota murni;
4. Alokasi kursi per daerah pemilihan untuk DPR 3-10 kursi, sementara untuk DPRD 3-12 kursi.
Dari empat poin krusial ini, hanya poin
ambang parlemen yang berubah mencolok, dari 1 persen menjadi 3,5 persen. Tiga
poin lainnya bisa dikatakan identik dengan aturan di UU No 10 Tahun 2008
tentang Pemilu atau UU Pemilu sebelumnya.
Tak lama setelah
disahkannya UU PEMILU ini banyak partai-partai gurem (kecil) mengajukan
permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, yang kebanyakan tak bersepakat
perihal Parliamentary Threshold dan verifikasi partai oleh KPU. Kira-kira
sebanyak 22 partai kecil berbondong-bondong mengajukan gugatan ke MK yang
diwakili oleh Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihzra Mahendra. Argumentasi
seputar gugatan ini menjelaskan bahwa banyak klausul dalam UU PEMILU ini yang
bertolak belakang dan rancu. Setidaknya ada dua norma berbeda yang sengaja
disatukan dalam salah satu paket UU tersebut. Salah satunya adalah terkait
aturan ambang batas parlemen dan keikutsertaan partai politik (parpol) dalam
pemilu yang tidak ada korelasinya.
Pasal 8 Ayat 1 UU
Pemilu. Pasal 8 Ayat 1 UU Pemilu berbunyi “Partai
politik peserta pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas
perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai partai
politik peserta pemilu pada pemilu berikutnya”. Selain itu, beberapa parpol
nonparlemen juga menggugat Pasal 8 Ayat 1 dan 2 serta Pasal 208 yang
mengamanatkan PT (Parliamentary
Threshold) berlaku secara nasional akan merugikan partai-partai nonparlemen
yang tidak memiliki basis politik dan massa nasional.
****
Idealnya adalah DPR
harus memikirkan bagaimana sistem politik di Indonesia lebih baik. Mendahulukan
kepentingan masyarakat sehingga pembahasannya tidak hanya berhenti pada
pasal-pasal yang tidak memiliki urgensi, seperti ambang batas parlementary
threshold, alokasi kursi per daerah pemilihan (dapil) 3-10 , dan sistem pemilu
proporsional terbuka. Apalagi ujung-ujungnya melalui mekanisme voting,
mekanisme yang dinilai sering menghilangkan akal sehat akibat lebih
mengutamakan tuntutan partai dari pada moralitas. Menurut, Robertus Robert
semangat awal pembahasan RUU Pemilu adalah untuk mengatasi berbagai persoalan
dalam sistem pemilu lama dan membuat sistem baru yang ideal. Salah satu
targetnya, UU ini diharapkan bisa memperkuat sistem presidensial yang selama
ini dihambat oleh sistem multipartai. Target lainnya adalah untuk mengatasi
politik berbiaya tinggi, politik uang, pengelolaan dana kampanye dan transaksi
politik. Tetapi malah DPR hanya memperdebatkan kepentingan partai-partai dan
masih jauh dari usaha menata ulang desain institusi ketatanegaraan kita.
(Kompas, Sabtu 14 April 2012).
Selanjutnya suatu sistem politik harus memiliki kapabilitas dalam menghadapai
kenyataan dan tantangan terhadapnya. Pada era modern ini prestasi sistem
politik di ukur dari kemampuannya melakukan penyelesaian dalam menghadapi
masalah bangsa, dan tantangannya. Atau lebih berorientasi pada hal yang
bersifat nyata (riil), seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas
sosial,politik,dan lainnya. Oleh karena itu system politik haruslah memiliki
kemampuan untuk menyeleseikan persoalan yang menjerat bangsa dan pencapaian
atau mewujudkan tujua negara seperti yang diamanatkan konstitusi. Semua ini
menjadi sinkron ketika masuk dalam terminology system seperti yang Gabriel
Almond maksudkan bahwa sistem politik adalah merupakan sistem interaksi yang ditemui
dalam masyarakat merdeka, yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.
Kemudian juga Robert Dahl yang turut menyinggung perdebatan seputar system
politik menyatakan bahwa system politik mencakup dua hal yaitu pola yang tetap
dari hubungan antar manusia, kemudian melibatkan sesuatu yang luas tentang
kekuasaan, aturan dan kewenangan. Dalam hal ini sistem politik Indonesia
diartikan sebagai kumpulan atau keseluruhan berbagai kegiatan dalam negara
Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan umum termasuk proses penentuan
tujuan, upaya-upaya mewujudkan tujuan, pengambilan keputusan, seleksi dan
penyusunan skala prioritasnya.
Sejarah Sistem Politik Indonesia bisa dilihat dari proses politik yang
terjadi di dalamnya. Namun dalam menguraikannya tidak cukup sekedar melihat
sejarah Bangsa Indonesia tapi diperlukan analisis sistem agar lebih efektif.
Dalam proses politik biasanya di dalamnya terdapat interaksi fungsional yaitu
proses aliran yang berputar menjaga eksistensinya. Sistem politik merupakan
sistem yang terbuka, karena sistem ini dikelilingi oleh lingkungan (ekologi) yang memiliki tantangan dan
tekanan. Setiap menjelang pemilihan umum (Pemilu), setelah reformasi pada 1998
lalu, Indonesia seolah selalu dalam keadaan darurat: belum jelas sistem Politik
seperti apakah yang akan digunakan. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya, Indonesia
baru mempunyai UU Pemilu pada 3 Maret 2008. Untuk Pemilu 2014 nanti, Indonesia
kemungkinan besar sudah mempunyai Undang-undangnya pada Kamis, 12 April 2012. Tipikal
untuk selalu tidak jelas di saat-saat dekat dengan pemilu menimbulkan banyak
spekulasi, apakah kita memang tidak memiliki system politik yang pasti dan
permanen hingga membuat semua elemen bangsa dapat menatap dan mempersiapkannya
ke masa depan? Inilah yang menjadi permasalahan ketika negara ini tidak
memiliki sistem politik yang pasti dan permanen dan cenderung berubaha-ubah
sesuai dengan konstelasi politik yang diselenggarakan lewat pemilu itu sendiri.
Dan disini menjadi kecenderungan bangsa kita terutama yang dipancarkan oleh
elit politik dan para pejabat untuk mengkonstruksi system politik (termasuk di
dalamnya system pemilu), utamanya lewat pemenang pemilu sebelumnya. Kondisi ini
sungguh sangat miris jika sampai terjadi pada saat ini. Dimana terdapat
beberapa partai besar yang saling kongkalikong dengan partai besar yang lain
untuk memantapkan atau mengamankan posisi kekuasaan yang telah susah payah
didapatkan sebelumnya. Alih, untuk perbaikan kondisi bangsa lewat system
politik yang tangguh dan stabil. Proyek UU PEMILU terbaru ini apakah memiliki
muatan perubahan jika dinamika yang telah diperlihatkan begitu sarat dengan
kepentingan pribadi dan golongan tertentu, bukan rakyat dan negara.End.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar