Sabtu, 26 Mei 2012

Diambang Batas Kelana[mu], Barat!


“Pembaca yang Budiman, mari kita tinggalkan Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat.
Mari kita tinggalkan Barat yang sok berbicara tentang kemanusiaan,
tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan manusia.”
Ali Syari’ati, (1933-1977)

Filsafat borjuis dan filsafat proletariat merupakan suatu bentuk turunan dari konsep filsafat marxis yang kemudian dielaborasi sesuai dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Pada moment ini saya ingin mencoba memberi pandangan bahwasanya selama beberapa abad dekade terakhir ini, saya merasakan banyak kelesuan kaum muda dalam mengutak-atik ilmu pengetahuan baik secara intens ataupun berkala. Asumsi saya ini berangkat dari lemahnya mental dan pikiran (mind and mentality) kaum muda dalam menghadapi tantangan yang semakin menjadi-jadi. Di tengah arus kapitalisme yang semakin tumbuh subur dengan segala keretakannya, kaum muda seperti mahasiswa seharusnya memanfaatkan celah sekecil apapun untuk perubahan ke arah yang lebih baik, baik untuk siapa? Negara kah, rakyat jelata kah, politikus yang siap memangku jabatan dan berakhir menjadi tiran kah? Saya rasa lebih bijak apabila perubahan itu untuk kebaikan semuanya. Cengkraman kapitalisme yang telah ditata negara-negara barat sepertinya sudah mengakar kuat, hingga menyebabkan westruckness dan toxication yang melanda sebagian masyarakat di berbagai belahan dunia. Filsafat borjuis yang memegang peranan dalam menyetir segala bentuk aktivitas modernisasi yang kental sarat nilai kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, hingga liberalisme ini penulis sangat rasakan sekali.
Filsafat hidup borjuis dan proletariat memang sangat bertentangan. Proletariat tahu tanpa kebebasan untuk semua orang, tidak akan ada kebebasan untuk orang perseorang (individu). Sebaliknya, borjuis beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan itu sendiri tidak ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam perjuangan. Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan buat semua, dan jika buat cita-cita ini dirinya sendiri harus berkorban sampai pun berkorban jiwa, kaum proletar menempuhnya dengan iklhas. Sebaliknya, borjuasi berjuang buat kebebasan diri sendiri, tetapi untuk kebebasan diri sendiri ini jangankan korban jiwa, korban harta benda pun mereka liat dan alot. Sebagai tambahan, ada baiknya saya sebutkan di sini bahwa si borjuis yang begitu mementingkan dirinya sendiri itu biasanya berumur pendek dan matinya sering dikarenakan sakit jantung atau tekanan darah tinggi. Hehehe...., sedang si proletar yang begitu tak mementingkan diri sendiri, jarang tertimpa penyakit yang aneh-aneh dan kalaupun mati biasanya mati karena kerja berat dan penderitaan akibat tindasan kapitalisme. Kerja si proletar yang selalu kerja berat memberikan keuntungan tersendiri, si proletar bekerja badan atau fisik sehingga badannya terlatih, berkembang, dan sehat. Sesuatu yang harus diiri oleh si borjuis! Terhadap filsafat proletar, si borjuis suka melempar kritik tentang tidak adanya kebebasan individu. Tapi apa yang dimaksud dengan kebebasan individu sebenarnya? Seperti dikatan Marx dan Engels dalam Manifes Partai Komunis, manusia idaman borjuasi itu adalah manusia yang hanya terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja, dan tidak terdapat dalam kenyataan.[1] Sangat mencengangkan bukan! Apakah si borjuis sendiri bebas? Sarapan pun mereka sudah tergantung dari kokinya!
Pada konteks ini, penulis bukan ingin mengajak untuk mengarungi hidup ala filsafat borjuis atau proletariat, melainkan karena kita telah menjadi bagian dari NKRI yang berideologi pancasila, maka sudah seharusnya pancaran sinar sebagai garuda-garuda muda yang siap menerkam semua rintangan yang menghalangi kemajuan bangsa bisa teratasi. Tapi nyatanya, harapan itu sangat utopis sekali, karena kita lihat saat ini, para kaum muda lebih disibukkan oleh sesuatu yang sifatnya pragmatisme. Dari gaya hidup hedonisme hingga westernisasi banyak di adopsi oleh kaum muda saat ini dengan bangganya. Perubahan negara Indonesia yang bisa nyata terealisasi mungkin dari segi struktural dan kultural, dari segi struktural kita mungkin bisa berbangga walau dengan proses yang sedemikian rumit, reformasi dan perubahan struktural itu bisa dilakukan, dengan memangkas segala bentuk lembaga yang dirasa tidak relevan lagi, sekalipun masih menyisakan koreksi terus menerus.[2] Nasib berbeda apabila kita menginginkan perubahan kultural, akibat penjajahan koloni yang berabad-abad membuat masyarakat indonesia seperti diserang suatu kondisi frustasi dan traumatik dan akhirnya membentuk mindset yang bermental terjajah, follower! Penulis sendiri sangat merasakan penyakit yang melanda bangsa tersebut, walau semangat ini berkobar membara tetapi rasanya sulit sekali untuk lepas dari penjara besi negeri barat. Karena puing-puing kehidupan kita telah terkoyak dan terkontaminasi oleh sadisnya kebudayaan barat, nilai-nilai luhur kitapun akhirnya in memoriam. Dan bagaimana kita menyikapi hal itu? Menentangnya? Sudah tentu pasti. Namun barat tak kekurangan akal untuk membuat kita tertunduk lesu tak berdaya sembari meminta belas kasihnya agar diberi sedikit pengharapan untuk hidup. Dengan menyuntikkan virus modernisasi, kebebasan, HAM, terutama terorisme yang menyebabkan kecemasan didunia, menjadi alibi negeri barat untuk mendapat restu untuk melancarkan gencatan senjata dan negara-negara lainpun dengan sigap berlindung dibawah ketiak barat, dan segala label budaya barat yang menjadi suatu parameter tunggal yang paling baik di dunia. Seluruh masyarakat dunia dijadikannya konsumen dan obyek dari leviatan barat sebagaimana kerbau yang dicocok hidungnya oleh kekuatan eksploitatif dan kapitalisme barat. Melihat ironi di negeri yang kaya akan sumberdaya ini sungguh sangat menjengkelkan ketika para pemangku jabatan yang seharusnya bisa menjadi teladan positif bagi kaum muda, setidaknya dengan semangat revolusioner yang ditunjukkan untuk menentang segala anasir barat yang memporak-porandakan bangsa. Dan kaum muda sekarang yang sekiranya dilabeli juru selamat (messiah) bangsa sedang berupaya untuk mencapai dan membuktikan bahwa garuda-garuda muda bangsa bisa mengudara lepas di bumi nusantara dan horizon dunia yang lain untuk mengabarkan bahwa kita memang benar-benar telah merdeka dari kungkungan barat!
Sebagai kader PMII dan mahasiswa ideologis, saya ingin mencuplik dan memvisualisasikan sebuah orasi dari Ali Syari’ati yang berkata kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,” Wahai ulil albab, rausyanfikr[3], kalian jangan berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan, ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”

Referensi dan Daftar Bacaan :
     Syari’ati, Ali. 1993, Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam, Bandung: Mizan.
     Njoto. 1962, Marxisme Ilmu dan Amalnya (Paparan Populer), Jakarta: Harian Rajat.
    


[1] Karl Marx & F. Engels, Manifes Partai Komunis, hal 87 (Disunting dari Paparan Populer Njoto dalam Buku Marxisme Ilmu dan Amalnya)
[2] Disampaikan di sela-sela ruang kelas kuliah Metodologi Penelitian oleh Drs. Anwar, M.Si.
[3] Rausyanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris
terkadang disebut intelectual atau free thinkers. Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan
menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta
sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam, Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar