“Pembaca yang Budiman, mari kita tinggalkan
Barat dan Eropa, mari kita hentikan sikap meniru-niru Barat.
Mari kita tinggalkan Barat yang sok
berbicara tentang kemanusiaan,
tetapi di mana-mana kerjanya membinasakan
manusia.”
Ali Syari’ati,
(1933-1977)
Filsafat borjuis dan filsafat proletariat
merupakan suatu bentuk turunan dari konsep filsafat marxis yang kemudian
dielaborasi sesuai dengan perkembangan dan perubahan peradaban manusia. Pada
moment ini saya ingin mencoba memberi pandangan bahwasanya selama beberapa abad
dekade terakhir ini, saya merasakan banyak kelesuan kaum muda dalam
mengutak-atik ilmu pengetahuan baik secara intens ataupun berkala. Asumsi saya
ini berangkat dari lemahnya mental dan pikiran (mind and mentality) kaum muda dalam menghadapi tantangan yang
semakin menjadi-jadi. Di tengah arus kapitalisme yang semakin tumbuh subur
dengan segala keretakannya, kaum muda seperti mahasiswa seharusnya memanfaatkan
celah sekecil apapun untuk perubahan ke arah yang lebih baik, baik untuk siapa?
Negara kah, rakyat jelata kah, politikus yang siap memangku jabatan dan
berakhir menjadi tiran kah? Saya rasa lebih bijak apabila perubahan itu untuk
kebaikan semuanya. Cengkraman kapitalisme yang telah ditata negara-negara barat
sepertinya sudah mengakar kuat, hingga menyebabkan westruckness dan toxication
yang melanda sebagian masyarakat di berbagai belahan dunia. Filsafat borjuis
yang memegang peranan dalam menyetir segala bentuk aktivitas modernisasi yang
kental sarat nilai kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, hingga liberalisme
ini penulis sangat rasakan sekali.
Filsafat hidup borjuis dan proletariat
memang sangat bertentangan. Proletariat tahu tanpa kebebasan untuk semua orang,
tidak akan ada kebebasan untuk orang perseorang (individu). Sebaliknya, borjuis
beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan itu sendiri tidak
ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam perjuangan.
Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan buat semua, dan jika
buat cita-cita ini dirinya sendiri harus berkorban sampai pun berkorban jiwa,
kaum proletar menempuhnya dengan iklhas. Sebaliknya, borjuasi berjuang buat
kebebasan diri sendiri, tetapi untuk kebebasan diri sendiri ini jangankan
korban jiwa, korban harta benda pun mereka liat dan alot. Sebagai tambahan, ada
baiknya saya sebutkan di sini bahwa si borjuis yang begitu mementingkan dirinya
sendiri itu biasanya berumur pendek dan matinya sering dikarenakan sakit
jantung atau tekanan darah tinggi. Hehehe...., sedang si proletar yang begitu
tak mementingkan diri sendiri, jarang tertimpa penyakit yang aneh-aneh dan
kalaupun mati biasanya mati karena kerja berat dan penderitaan akibat tindasan
kapitalisme. Kerja si proletar yang selalu kerja berat memberikan keuntungan
tersendiri, si proletar bekerja badan atau fisik sehingga badannya terlatih,
berkembang, dan sehat. Sesuatu yang harus diiri oleh si borjuis! Terhadap
filsafat proletar, si borjuis suka melempar kritik tentang tidak adanya
kebebasan individu. Tapi apa yang dimaksud dengan kebebasan individu sebenarnya?
Seperti dikatan Marx dan Engels dalam Manifes
Partai Komunis, manusia idaman borjuasi itu adalah manusia yang hanya
terdapat di dalam dunia gelap khayalan filsafat saja, dan tidak terdapat dalam
kenyataan.[1]
Sangat mencengangkan bukan! Apakah si borjuis sendiri bebas? Sarapan pun mereka
sudah tergantung dari kokinya!
Pada konteks ini, penulis bukan ingin
mengajak untuk mengarungi hidup ala filsafat borjuis atau proletariat,
melainkan karena kita telah menjadi bagian dari NKRI yang berideologi
pancasila, maka sudah seharusnya pancaran sinar sebagai garuda-garuda muda yang
siap menerkam semua rintangan yang menghalangi kemajuan bangsa bisa teratasi.
Tapi nyatanya, harapan itu sangat utopis sekali, karena kita lihat saat ini,
para kaum muda lebih disibukkan oleh sesuatu yang sifatnya pragmatisme. Dari
gaya hidup hedonisme hingga westernisasi banyak di adopsi oleh kaum muda saat
ini dengan bangganya. Perubahan negara Indonesia yang bisa nyata terealisasi
mungkin dari segi struktural dan kultural, dari segi struktural kita mungkin
bisa berbangga walau dengan proses yang sedemikian rumit, reformasi dan
perubahan struktural itu bisa dilakukan, dengan memangkas segala bentuk lembaga
yang dirasa tidak relevan lagi, sekalipun masih menyisakan koreksi terus
menerus.[2]
Nasib berbeda apabila kita menginginkan perubahan kultural, akibat penjajahan
koloni yang berabad-abad membuat masyarakat indonesia seperti diserang suatu
kondisi frustasi dan traumatik dan akhirnya membentuk mindset yang bermental
terjajah, follower! Penulis sendiri sangat merasakan penyakit yang melanda
bangsa tersebut, walau semangat ini berkobar membara tetapi rasanya sulit
sekali untuk lepas dari penjara besi negeri barat. Karena puing-puing kehidupan
kita telah terkoyak dan terkontaminasi oleh sadisnya kebudayaan barat,
nilai-nilai luhur kitapun akhirnya in
memoriam. Dan bagaimana kita menyikapi hal itu? Menentangnya? Sudah tentu
pasti. Namun barat tak kekurangan akal untuk membuat kita tertunduk lesu tak
berdaya sembari meminta belas kasihnya agar diberi sedikit pengharapan untuk
hidup. Dengan menyuntikkan virus modernisasi, kebebasan, HAM, terutama terorisme
yang menyebabkan kecemasan didunia, menjadi alibi negeri barat untuk mendapat
restu untuk melancarkan gencatan senjata dan negara-negara lainpun dengan sigap
berlindung dibawah ketiak barat, dan segala label budaya barat yang menjadi
suatu parameter tunggal yang paling baik di dunia. Seluruh masyarakat dunia
dijadikannya konsumen dan obyek dari leviatan barat sebagaimana kerbau yang
dicocok hidungnya oleh kekuatan eksploitatif dan kapitalisme barat. Melihat
ironi di negeri yang kaya akan sumberdaya ini sungguh sangat menjengkelkan
ketika para pemangku jabatan yang seharusnya bisa menjadi teladan positif bagi
kaum muda, setidaknya dengan semangat revolusioner yang ditunjukkan untuk
menentang segala anasir barat yang memporak-porandakan bangsa. Dan kaum muda
sekarang yang sekiranya dilabeli juru selamat (messiah) bangsa sedang berupaya untuk mencapai dan membuktikan
bahwa garuda-garuda muda bangsa bisa mengudara lepas di bumi nusantara dan
horizon dunia yang lain untuk mengabarkan bahwa kita memang benar-benar telah
merdeka dari kungkungan barat!
Sebagai kader PMII dan
mahasiswa ideologis, saya ingin mencuplik dan memvisualisasikan sebuah orasi
dari Ali Syari’ati yang berkata kepada seluruh intelektual Muslim di manapun,”
Wahai ulil albab, rausyanfikr[3], kalian jangan
berhenti di atas menara gading. Turunlah ke bawah, ke kampung-kampung, ke
kota-kota, ke pasarpasar, ke sekolah-sekolah, ke tempat dimana ada sekumpulan
manusia. Jangan puas dengan ilmu yang telah kalian dapatkan. Sebab ilmu itu
harus kalian abdikan ke tengah masyarakatmu. Tumbuhkan kesadaran dan semangat
umat untuk merubah dunia dengan bimbingan ilmu. Jangan anjurkan mereka
meniru-niru Barat atau menjiplak Timur. Sebab Barat dan Timur bukanlah kutub
yang harus dipilih, keduanya sama-sama tumbuh dari jantung tradisi. Hidupkan
Islam, sebab Islam bukan tradisi, bukan Barat, bukan pula Timur. Islam adalah
wahyu. Pelajari keyakinan dasar dan proses yang membentuk kesadaran
masyarakatmu, kemudian kebudayaan mereka, dan karakteristik mereka. Tugas
kalian adalah merobohkan sistem masyarakat yang berdasar atas penindasan,
ketidakadilan, dan kezaliman dengan membentuk umat yang terbangun atas dasar
tauhid. Inilah tugas para rasul, kini kalian penerusnya!”
Referensi dan
Daftar Bacaan :
Syari’ati, Ali. 1993, Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam, Bandung: Mizan.
Njoto. 1962, Marxisme Ilmu dan Amalnya
(Paparan Populer), Jakarta: Harian Rajat.
[1] Karl Marx &
F. Engels, Manifes Partai Komunis, hal 87 (Disunting dari Paparan Populer Njoto dalam Buku Marxisme Ilmu dan
Amalnya)
[2] Disampaikan di
sela-sela ruang kelas kuliah Metodologi Penelitian oleh Drs. Anwar, M.Si.
[3] Rausyanfikr adalah
bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan.” Dalam terjemahan Inggris
terkadang disebut intelectual atau free thinkers.
Rausyanfikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan
menemukan kenyataan, seorang rausyanfikr
menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta
sebagaiman adanya, Rausyanfikr memberikan
penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Rausahnfikr
seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral
dalam menjalankan pekerjaannya, Rausyanfikr harus melibatkan diri pada
ideologi. Lihat Jalaluddin Rahmat, “Ali Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab”
Pengantar dalam, Ali Shari’ati. Ideologi
Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam, Syafiq
Bashri dan Haidar Baqir (penrj), Mizan, Bandung, 1994, hal 14-15.